Adadua macam kebiri, pertama kebiri fisik dan yang kedua yakni kebiri kimia. Sejumlah Negara yang Menerapkan Kebiri Pada Pelaku Paedofil - MerahPutih Sabtu, 11 Juni 2022
Kebijakanpro-natalis mendukung penduduknya untuk memiliki jumlah anak yang banyak. Contoh negara tersebut adalah Kuwait, Jepang, argentina, brazil, rusia, perancis, jerman, israel dan beberapa negara lainnya. Pada sisi lain, sejumlah negara berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduknya karena jumlahnya terlalu besar dan membebani perekonomian negara. Negara-negara tersebut menerapkan kebijakan yang anti-natalis. Kebijakan tersebut berupaya mengendalikan jumlah penduduk dengan beragam
Negarayang menerapkan kebijakan yang antinatalis selain jepang.. Question from @Sfa616046 - Sekolah Menengah Pertama - Ips. Sfa616046 @Sfa616046. May 2019 2 3 Report. Negara yang menerapkan kebijakan yang antinatalis selain jepang. maulidaa09 Korea maaf klo salah.. 0 votes Thanks 0. ShinichiRen Neumpang leuat, butuh poin, maaf yak . 0
kelahiranyang banyak dipercaya akan menjadikan pertahanan nasional semakin kuat. Di masa itu, Indonesia tidak mempunyai kebijakan mengenai program pembatasan kelahiran. Sebaliknya, pemerintah mendorong perempuan untuk melahirkan banyak anak (pro-natalis). Sumber daya manusia saat itu sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa Indonesia.
Meilleur Site De Rencontre Gratuit En France. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan luar negeri Indonesia aktif mendorong implementasi kesetaraan gender dalam hubungan internasional. Indonesia, misalnya, mendorong peningkatan jumlah perempuan di pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Namun, kebijakan luar negeri pro kesetaraan gender tersebut tidak diikuti oleh upaya serupa di dalam negeri. Sebelum abad ke-19, perempuan telah memiliki peran diplomatik. Namun, profesionalisasi dan modernisasi diplomasi di abad ke-20 meminggirkan perempuan dari dunia diplomasi. Masuknya ide-ide feminis ke dalam kebijakan luar negeri dalam beberapa tahun terakhir mengubah situasi tersebut. Pengarusutamaan kesetaraan gender menjadi norma baru di dalam kebijakan luar negeri. Perubahan ini melahirkan kebijakan luar negeri berbasis gender di Swedia, Kanada, Perancis, dan Meksiko. Sebagai contoh, Swedia mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar dalam proses perdamaian di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Swedia juga berusaha memperkuat peran dan hak-hak pekerja perempuan di Kroasia, Kamboja, Turki, dan Polandia melalui kerjasama bilateral. Di dunia, jumlah perempuan menjabat menteri luar negeri juga meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir. Dalam pengamatan saya, sejak 2000 hingga 2020, perempuan dari berbagai belahan dunia telah menduduki posisi tersebut sebanyak 195 kali. Sementara, di periode 1947 hingga 1999, perempuan hanya menduduki jabatan tersebut sebanyak 51 kali. Gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia Indonesia telah berusaha menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan prinsip dan norma kesetaraan gender. Dalam kebijakan luar negeri yang pro kesetaraan gender ini, Indonesia fokus pada peningkatan peran perempuan sebagai agen perdamaian serta memperbesar jumlah personil perempuan pasukan penjaga perdamaian PBB. Untuk meningkatkan peran perempuan dalam proses perdamaian, tahun 2019, Indonesia menyelenggarakan pelatihan regional peningkatan kapasitas diplomat perempuan dalam menganalisis dan mencegah konflik, dan membangun perdamaian pascakonflik. Pada tahun yang sama, Indonesia juga melaksanakan Dialogue on the Role of Women in Building and Sustaining Peace untuk mendorong dan meningkatkan peran serta kapasitas perempuan Afghanistan dalam proses perdamaian di negara mereka. Kegiatan ini diikuti oleh penyelenggaraan Afghanistan-Indonesia Women’s Solidarity Network di Kabul, Afghanistan, tahun 2020. Sementara, untuk meningkatkan peran perempuan di pasukan perdamaian PBB, Indonesia memulainya dengan mengirimkan personil perempuan sebagai pengamat militer pada misi PBB di Kongo tahun 2005. Indonesia menargetkan untuk meningkatkan jumlah personil perempuan pasukan perdamaiannya dari 4% menjadi 7%. Secara global, jumlah personil perempuan pasukan perdamaian PBB hanya 6,4% dari personil pasukan perdamaian PBB. Jumlah ini jauh dari harapan negara-negara anggota PBB, yaitu minimal 20% . Untuk mewujudkannya, Indonesia mengajukan resolusi penambahan personil perempuan pasukan perdamaian PBB saat menjabat Presidensi Dewan Keamanan PBB DK PBB Agustus 2020. Resolusi ini disahkan oleh DK PBB pada 28 Agustus 2020 dan menjadi Resolusi 2538. Menurut saya, ada tiga faktor yang mempengaruhi orientasi feminis Indonesia tersebut. Pertama, adanya tren internasional untuk mengadopsi ide-ide feminis ke dalam kebijakan luar negeri. Selain, kebutuhan penerapan Resolusi 1325 terkait perempuan, perdamaian, dan keamanan yang telah diadopsi oleh Indonesia. Kedua, adanya Instruksi Presiden No 9 tahun 2000 yang menginstruksikan penerapan pengarusutamaan gender di seluruh kementerian dan lembaga negara. Ketiga, faktor latar belakang Retno Marsudi, yang menjabat Menteri Luar Negeri sejak 2014. Retno memiliki pendidikan, pengalaman, dan perhatian pada isu hak asasi manusia HAM dan gender. Ia menyelesaikan pendidikan magisternya di bidang undang-undang Uni Eropa di The Hague University of Applied Sciences, Belanda, dan juga belajar HAM di University of Oslo, Norwegia. Tahun 2004, ia terlibat di Tim Pencari Fakta Munir S. Thalib. Perhatiannya pada isu gender terlihat dari tulisannya berjudul “Indonesian female diplomats and gender mainstreaming in diplomacy” yang dimuat oleh The Jakarta Post tahun 2005. Read more Bagaimana jurnalis perempuan memperjuangkan kesetaraan gender antara jurnalisme dan advokasi Isu gender di dalam negeri Di dalam negeri, gender masih menjadi persoalan besar. Diskriminasi terhadap perempuan masih jamak terjadi. Diskriminasi ini terlihat dari perilaku misoginis masyarakat yang sering menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual. Bahkan, sikap ini juga dipertontonkan oleh pejabat negara. Komisi Nasional Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan seksual di Indonesia meningkat sebesar 792% dalam 12 tahun terakhir serta lebih dari 90% kasus perkosaan di Indonesia tidak pernah dilaporkan karena korban takut menerima stigma dan disalahkan oleh masyarakat. Alih-alih merespons situasi tersebut dengan memberikan jaminan hukum dan keamanan bagi perempuan, negara malah memperkuat potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan lewat upaya pengesahan rancangan Undang-Undang RUU Ketahanan Keluarga yang bias gender. Sebaliknya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang berusaha melindungi perempuan hilang dari pembahasan di parlemen. World Economic Forum WEF melaporkan kesenjangan gender di Indonesia makin memburuk sejak 2006. Pada 2006, Indonesia menduduki peringkat 68 dari seluruh negara yang ada. Namun, pada 2020, peringkat Indonesia merosot ke 85. Dari empat indikator partisipasi ekonomi, akses pendidikan, akses kesehatan, dan partisipasi politik yang dipakai oleh WEF, Indonesia mengalami penurunan hampir di seluruh indikator. Sekalipun Indonesia telah mengadopsi prinsip dan norma feminis dalam kebijakan luar negerinya, representasi perempuan di jajaran puncak Kementerian Luar Negeri jumlahnya masih kecil walaupun ada peningkatan signifikan dalam jumlah perempuan yang diterima sebagai diplomat. Saat ini, jumlah perempuan yang menduduki jabatan puncak eselon 1 dan 2 Kementerian Luar Negeri Indonesia hanya 14% dari total pejabat di posisi puncak tersebut. Read more Semua partai telah memenuhi kuota caleg perempuan, tapi mengapa jumlah perempuan di parlemen tetap sedikit? Yang perlu dilakukan Jelas ada ketimpangan dalam implementasi prinsip dan norma kesetaraan gender di Indonesia. Indonesia aktif mendorong implementasi prinsip dan norma kesetaraan gender di dalam hubungan internasional. Namun, di dalam negeri, penerapan prinsip dan norma gender mengalami kemunduran. Pemerintah dan masyarakat perlu mengatasi ketimpangan ini demi meningkatkan akses dan perlindungan bagi perempuan di Indonesia, dan menjaga citra dan upaya Indonesia dalam mempromosikan gender di level internasional. Ada beberapa cara yang dapat diambil. Pertama, pemerintah perlu aktif meningkatkan kesadaran gender di kalangan elite politik dan aparat negara. Penghambat utama kesadaran gender di level negara adalah pola pikir patriarki atau maskulin yang berkembang di kalangan elite politik dan aparat pemerintah. Kedua, pemerintah juga harus memperbanyak hukum dan peraturan yang pro kesetaraan gender untuk mewujudkan hubungan gender yang berkeadilan. Di sisi lain, masyarakat perlu secara berkesinambungan menyuarakan dan mendesak pemerintah untuk lebih peduli pada persoalan gender. Terakhir, masyarakat juga perlu menyelenggarakan pendidikan dan/atau kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kesadaran gender anggota masyarakat lainnya.
Ketika pertanyaan tentang dampak keabsahan dari teori Thomas Robert Malthus tentang pertumbuhan penduduk menurut deret ukur, sementara pertumbuhan bahan makanan menurut deret hitung diajukan, National Academic Sience of America NASA membuat kelompok kerja untuk menjawab pertanyaan pertama kali dikoordinasikan oleh Ansley Coale dan Edgar M Hoover dan melihat India sebagai daerah kajian. Kajian pada awal 1960-an membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk menghalangi pembangunan. Berlawanan dengan itu, Julian Simon, ekonom Amerika, membantah bahwa hubungan antara pertumbuhan penduduk terlihat tidak jelas negligible. Rekomendasi dari hasil kajian itu adalah negara berkembang disarankan untuk masuk ke rezim dalam rezim pembangunan, penduduk mesti dikendalikan. Cara pengendalian adalah dengan mengurangi angka kelahiran melalui program keluarga berencana, memajukan pendidikan wanita, dan ekonomi keluarga. Indonesia sangat jelas menggunakan cara pandang itu ketika Profesor Widjojo Nitisastro, ekonom UI, menjabat ketua Bappenas sejak Repelita II, 1974. Ketika itu persoalan kependudukan terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Pada awal periode pertama, Jawa dan Bali dijadikan sebagai prioritas program KB nasional, kemudian dilanjutkan ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai prioritas tahap kebijakan keluarga berencana di Indonesia telah menyebabkan transisi demografi begitu cepat di Indonesia. Jawa dan Bali tercatat sebagai daerah dengan angka kelahiran yang turun lebih cepat dari perkiraan. Sumatera dan daerah lain mengikutinya. Proses ini berlanjut dan berakhir menjelang kejatuhan Soeharto. Setelah zaman reformasi, sepertinya aspek kependudukan kehilangan petunjuk dan arah. Tampaknya berbalik ke rezim yang tidak mendapatkan perhatian utama, atau setidaknya menganut berlawanan dengan antinatalis, alias PronatalisDikatakan tidak terarah jelas ketika target angka kelahiran total TFR pada tahun 2015 sebesar 2,1 per wanita dipastikan tidak akan tercapai. Kenapa? Mari kita simak hasil Survei Demografi Kesehatan IndonesiaSDKI dua seri waktu terakhir. SDKI 2007 dan 2012 merupakan dua informasi terakhir dari data kependudukan di Indonesia. Isi dari keduanya menunjukkan bahwa angka kelahiran, yang dihitung dari rata-rata kelahiran wanita berusia 15-49 tahun, telah mengalami kenaikan dari 2,4 per wanita, menjadi 2, pertanda terjadi kenaikan dari angka kelahiran. Temuan demikian sejalan dengan hasil sensus penduduk 2010, di mana jumlah penduduk Indonesia melebihi dari perkiraan yang ditetapkan sebelumnya. Bagaimana menjelaskan fenomena itu? Beberapa penjelasan diperkirakan dapat dijadikan titik kritis kenapa Indonesia menganut rezim pronatalis, rezim pemerintahan dengan kebijakan kependudukan menggunakan skenario lemah untuk kebijakan mengendalikan desentralisasi pembangunan telah mengurangi arti komando dari kebijakan kependudukan semasa Emil Salim dan Haryono Suyono. Kedua menteri ini telah memberikan perhatian intensif terhadap persoalan kependudukan. Terpusatnya program kependudukan dan keluarga berencana KB dapat menggerakkan dan mengimplementasikan program kependudukan secara intensif. Jangkauan program sampai pada pasangan usia subur PUS, dan menggerakkan para petugas keluarga berencana volunteer di desentralisasi digulirkan, sebagian besar pemerintah daerah tidak mengelola persoalan kependudukan menjadi program penting, tidak seaktif rezim sebelumnya. Boleh dibilang sangat langka pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD untuk kebijakan kependudukan, kecuali peranan dari dinas catatan sipil, karena terintegrasi dengan struktur organisasi di pemerintah masa ini, kalaupun BKKBN masih ada pada level provinsi, corak dan intensitas kebijakan kependudukan relatif sebagai akibat dari yang pertama, target untuk menjangkau pasangan usia subur menjadi tidak begitu terarah. Angka penggunaan kontrasepsi pada kisaran 70 persen memang bisa dicapai. Namun, efektivitas penggunaan alat kontrasepsi menjadi berkurang karena pengguna KB pada umumnya adalah wanita dan berdimensi jangka pendek. Suntik dan pil adalah dua jenis alat kontrasepsi utama jangka pendek, sementara IUD dan kondom relatif sedikit yang menggunakan, apalagi KB kelahiran yang tidak direncanakan, unwanted birth, menjadi relatif masih tinggi. Ketiga, masih belum adanya strategi yang bersungguh-sungguh untuk menjangkau pasangan yang sebenarnya ingin menghentikan kelahiran, unmeet mereka tidak memperoleh pelayanan keluarga berencana. Angka ini sangat nyata dan kelihatan tidak bergerak turun pada dua kurun waktu survei. SDKI 2007 dan 2012 masih menunjukkan angka unmeet need masih berkisar antara 11- 12%.Padahal jika program KB diarahkan pada kelompok ini, sebenarnya akan semakin baik dampaknya terhadap penurunan angka InklusifJika tiga persoalan di atas sebagai penjelas negara masuk ke dalam rezim pronatalis, sebenarnya pendirian untuk mengendalikan jumlah penduduk sudah saatnya. Fokus dapat ditujukan pada kelompok pasangan PUS inklusif. Siapa mereka? Mereka adalah kelompok pasangan usia subur yang secara geografis tinggal di daerah yang sulit terjangkau pelayanan petugas keluarga berencana. Mereka mendiami wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, masyarakat pedalaman hutan dan perkebunan, masyarakat tertinggal, perbatasan, miskin, suku terasing, dan kelompok khas yang menganggap banyak anak banyak untuk menjangkau mereka adalah mesti lebih aktif ketimbang reaktif. Berbagai cerita sukses kader KB-KES di lapangan menunjukkan bahwa saatnya untuk melakukan revitalisasi kader KB-KES di daerah-daerah tersulit. Kader direkrut dan berciri integritas yang terbaik. Saat bersamaan fungsi mereka dapat mengangkat kesenangan untuk bekerja melayani sampai ke pelosok-pelosok. Keberadaan kader bekerja sama dengan bidan desa akan menjadikan sebuah gerakan program yang sukses di China bercirikan pada integritas yang tinggi dan memberikan pelayanan yang pasti oleh tenaga medis sampai ke pelosok-pelosok menjangkau keluarga yang berisiko tinggi memiliki angka kelahiran di atas rata-rata. Saat bersamaan pemerintah daerah juga dapat menjadikan program KB terintegrasi dengan program pembangunan lainnya. Sudah saatnya anak-anak mereka untuk memperoleh akses pada layanan khusus saatnya juga keluarga ini memperoleh kepastian dalam setiap program pemberdayaan ekonomi. Sudah saatnya juga kampanye kependudukan diarahkan kepada kelompok ini. Sekiranya ada kepastian diarahkan kepada keluarga ini, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan berbalik rezim ini masuk ke dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Kapan? Menunggu kemudahan hati SBY-Boediono atau Besar Ekonomi SDMUniversitas Andalaslns
Pada postingan sebelumnya, saya sudah memberikan penjelasan tentang faktor mortalitas. Kali ini saya akan berikan sedikit penjelasan tentang faktor natalitas. Natalitas atau kelahiran merupakan fenomena alami yang menyebabkan adanya pertambahan penduduk. Setiap daerah atau negara memiliki tingkat natalitas yang beda-beda. Indonesia saat ini memiliki angka pertumbuhan penduduk yang masih tinggi yaitu di atas 1% tiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk sebuah negara dikatakan seimbang jika mencapai zero population growth. Ada faktor pro natalitas dan anti natalitas yaitu Faktor Pro Natalitas 1. Kawin Usia Muda Banyaknya penduduk usia muda yang sudah menikah di usia yang masih remaja membuat angka kelahiran cenderung tinggi. Ini karena produktifitas pasangan khususnya wanita yang masih muda masih sangat baik. 2. Anggapan Banyak Anak Banyak Rezeki Di beberapa negara termasuk Indonesia, masih banyak anggapan tentang banyak anak banyak rezeki. Memang hal ini ada benarnya namun tentunya kondisi dunia yang semakin cepat berubah membuat anggapan ini harus mulai ditinggalkan. Anak juga harus terpenuhi semua kebutuhannya. Jangan sampai banyak anak namun orang tua tidak mampu menafkahi semua kebutuhan mereka sehingga nantinya tidak tumbuh menjadi anak yang sehat dan berkualitas. 3. Rasa Malu Ada beberapa komunitas mungkin yang masih menganggap malu jika pada usia tertentu belum punya anak. Hal ini menjadi aib keluarga dan akan dikucilkan. Ini yang menyebabkan banyaknya pasangan yang cepat memiliki anak sebelum usia tua. 4. Tingkat Kesehatan dan Ekonomi Jika seseorang sehat dan memiliki kondisi keuangan yang stabil tentu memiliki anak tidak akan menjadi masalah. Mereka tidak akan khawatir jika punya anak banyak karena dapat terjamin kebutuhan hidupnya. 5. Seks Bebas Perilaku seks bebas di kalangan remaja dapat memicu adanya kelahiran tak terduga atau juga Married By Accident. Faktor Natalitas Faktor Anti Natalitas 1. Keluarga Berencana Program Keluarga Berencana merupakan program pemerintah yang bertujuan menekan angka kelahiran tiap keluarga. Dalam program ini maksimal satu keluarga hanya punya dua anak saja. 2. Anggapan Anak Adalah Beban Di tengah kondisi dunia yang makin hingar bingar, ada beberapa orang yang menganggap anak adalah beban. Mereka lebih memilih hidup sendiri dan tidak mau ada tanggungan. 3. Aturan Batasan Usia Adanya batasan usia menikah membuat seseorang tidak dapat menikah dan memiliki anak sebelum mencapai batas usia yang ditentukan. 4. Kondisi Kesehatan dan Ekonomi Ada beberapa pasangan yang memang tidak bisa memiliki anak karena kondisi tertentu. Hal ini tentu akan membuat angka fertilitas menurun. Sementara tingkat ekonomi yang rendah bisa membuat seseorang berfikir beberapa kali sebelum membuat anak. 5. Malas Menikah Tuntutan hidup yang tinggi membuat seseorang bisa memiliki pemikiran untuk malas menikah. Di Jepang contohnya saat ini memiliki angka kelahiran yang negatif karena rutinitas kerja yang terlalu tinggi. Itulah beberapa faktor pro dan anti natalitas penduduk. Jangan lupa dukung video youtube guru geografi berikut ini!.
Apa itu kebijaksanaan pro natalis? kebijaksanaan pro natalis adalah kata yang memiliki artinya, silahkan ke tabel berikut untuk penjelasan apa arti makna dan maksudnya. Pengertian kebijaksanaan pro natalis adalah Subjek Definisi Keluarga Berencana KB ? kebijaksanaan pro natalis Kebijaksanaan pemerintah, masyarakat atau sekelompok masyarakat untuk mempercepat pertumbuhan penduduk dengan usaha menaikkan jumlah kelahiran Definisi ? Loading data ~~~~ 5 - 10 detik semoga dapat membantu walau kurangnya jawaban pengertian lengkap untuk menyatakan artinya. pada postingan di atas pengertian dari kata “kebijaksanaan pro natalis” berasal dari beberapa sumber, bahasa, dan website di internet yang dapat anda lihat di bagian menu sumber. Istilah Umum Istilah pada bidang apa makna yang terkandung arti kata kebijaksanaan pro natalis artinya apaan sih? apa maksud perkataan kebijaksanaan pro natalis apa terjemahan dalam bahasa Indonesia
America needs more what policymakers seem to have decided, from the White House to Capitol Hill. Congress spent November considering the Child Tax Credit, a measure that reduces the federal income taxes owed by families with kids. The Senate and the House both voted to raise the credit in their recent tax bills, which will soon be reconciled. Meanwhile, two Democratic senators, Michael Bennet and Sherrod Brown, proposed their own version of an increase. And led by Ivanka Trump, the Trump administration has been softly pushing a child-care tax deduction and federal paid-maternity-leave ReadingThese programs have been sold as ways to support struggling middle-class families, but they also address another issue declining birth rates. Government data suggests the has experienced drops in fertility across multiple measures in recent years. Even Hispanic Americans, who have had high fertility rates compared to other ethnic groups in recent decades, are starting to have fewer babies. Lyman Stone, an economist at the Department of Agriculture who blogs about fertility in his spare time, called this year’s downward fertility trend “the great baby bust of 2017.”These are the seeds of a nascent pro-natalist movement, a revived push to organize American public policy around childbearing. While putatively pro-family or pro-child policymaking has a long history in the the latest push has a new face. It’s more Gen X than Baby Boom. It’s pro-working mom. And it upends typical left-right political valences Measures like the Child Tax Credit find surprising bipartisan support in Congress. Over the last year or so, the window of possibility for pro-natalist policies has so, proponents of child-friendly policies, left and right, are deeply skeptical that the government will prove willing to put family at the center of its laws—or that the government can change current birth-rate trends. Ultimately, a shared cultural commitment to the importance of children is the factor that will determine America’s baby-making the developed world, birth rates are below replacement level, meaning women don’t have enough children to replenish the population. Pro-natalists argue that this will have devastating consequences. By contrast, they say, having kids has lots of upsides. “People want it. Society needs it. We want the economy to grow,” said Stone said in an least in Europe and the birth rates tend to lag behind what women desire. According to data reported by the Pew Research Center in 2014, 40 percent of American women approaching the end of their childbearing years say they have fewer kids than they had argument that having more kids is good for society is a little bit trickier. Some environmentalists argue that population control is key to protecting the earth’s resources. Others say a childless lifestyle might be preferable to the life of a parent. Some philosophers even argue that it’s immoral to have kids at say societal well-being—and democracy itself—depend on Americans’ willingness to procreate. “It’s not that common that love is a policy argument,” Stone said. But “the most important part of human well-being is family.” And “that’s not a subjective statement,” he added. “That’s an objective one” supported by public-health Last, The Weekly Standard’s digital editor and author of What to Expect When No One’s Expecting, takes a more somber view If people in authoritarian societies have more children than citizens of liberal democracies, “over the long haul, those people inherit the earth,” he said. The economics of a shrinking global population could lead to chaos and desperate political acts, he predicted “In the course of the next 50 or 100 years, you could wind up in a world that is unstable and unpleasant and illiberal.”The economic case for more babies is fairly straightforward More workers presumably yield more productivity. As Stone said, “There is no economy that has managed to knock out gangbuster growth with a declining population.” And a wild imbalance between populations of the non-working elderly and strapping young people can wreak havoc “As governments raise taxes on a dwindling working-age population to cover the growing burdens of supporting the elderly,” wrote the journalist Phillip Longman in a 2006 essay for Foreign Policy, “young couples may conclude they are even less able to afford children than their parents were.”Stone tossed in a final reason for society to support baby-making “The history of humanity is long, and it rarely goes a century without a major war. You need warm bodies to fill the uniforms,” he said. This isn’t the most common justification for pro-natalism, he admitted—it’s “the one that gets me teased the most.”Pro-natalism sometimes has dark undertones. Steve King, the Iowa Republican lawmaker, has spoken about the need to “restore our civilization”; in March, he tweeted support for the far-right Dutch politician Geert Wilders, who, King said, understood “that culture and demographics are our destiny” and can’t be restored “with somebody else’s babies.” In fringe alt-right internet circles, a controversial Mormon blogger issued a “white-baby challenge” to grow the white population in the Lovett, a historian at the University of Massachusetts Amherst, sees parallels between today’s worries around demographic change and the eugenics movement of the 1920s and ’30s. Fear about women going to college and not having as many children was coupled with an anti-immigrant anxiety, similar to what some on the right feel today, she said. Eugenicists promoted a “four-child norm” among native-born, white members of the middle class, “which really becomes the normative size of American families after the Second World War,” she the most part, these populist voices on the right have not been leading the recent pro-natalist wave. Ross Douthat, a columnist at The New York Times, recently tweeted his frustration that pro-Trump politicians like King and the former White House adviser Steve Bannon don’t seem to care about policies like the Child Tax Credit. “I want them to stop and think about why populist movements elsewhere in the West actually try to have a pro-family policy agenda to match their demographic worries,” he wrote, “while American right-populism still lets Wall Street write its economic policy.”His complaint gets at one of the central political problems facing pro-natalism It often sits in tension with ardently free-market conservatism. “Chamber of Commerce-type Republicans … don’t care at all about that stuff,” said Last. “This is one of those real conflicts between what the market wants … and the things that society needs.” If all someone cares about is free markets, he added, “it’s very hard to find a way to effectively place value on things like the creation of new workers 30 years from now. It’s just too long-term.”Even though Congress will almost certainly raise the Child Tax Credit in its final overhaul bill, benefits to low- and middle-income families will likely end up limited, in part because of Republicans’ dislike of entitlement spending. The credit is currently structured as a tax reduction Families that pay federal income taxes get a discount for each kid they have. But for almost half of Americans—including low- and middle-income workers who don’t make enough to owe federal income taxes—the benefit is significantly less. For people who don’t work or make less than $3,000, it doesn’t apply at imbalance would be exacerbated by the House and Senate proposals. Currently, the Child Tax Credit for jointly filing married couples is capped at $110,000; for families who make more than that, it’s reduced. Both chambers’ plans raise that cap significantly; the Senate bill places the threshold at $500,000. Senators Marco Rubio of Florida and Mike Lee of Utah pushed to make the credit refundable against payroll taxes, which would make it more beneficial to working-class families. Their efforts got little traction and quietly failed as the Senate passed its bill late last week. Douthat called it “a lonely battle for a pittance of a refundable tax credit for American families in the midst of a baby bust,” which “nobody in professional populist conservatism seems interested in making … a cause célèbre.”There are a few exceptions, of course. Ivanka Trump has crisscrossed Capitol Hill advocating for her child-care policies and has spoken on these issues around the country, arguing that changing demographics and family structures warrant a tax-code overhaul. Child-friendly policies fit nicely with her personal brand—her latest book, Women Who Work, encourages women to reach the heights of both the professional world and maternal yet, Ivanka Trump’s rehabilitation of the working mom doesn’t seem quite right, said Elizabeth Ananat, an associate professor at Duke who is affiliated with its Center for Child and Family Policy. “Her notion [is] that the working woman was a rundown, unglamorous service worker … and is now a curated, beautiful, successful, glamorous person,” she said. “It’s a very aspirational image—which isn’t necessarily bad, to have glamour. But that is not the typical working mom.” Ivanka’s policies on paid maternal leave and child care share a similarly miscalibrated view of the average family, Ananat argued Their structure means “it would be a lot of money to each family like hers.”Debate about family-friendly policymaking is very much happening on conservative terms. Today’s policy proposals are a far cry from the 1970s, when a comprehensive child-care program almost became law, but was vetoed by President Nixon. Over the past four decades, policymaking has shifted away from government-provided services toward a model that privileges workers and work-based benefits, Lovett said. “It’s about determining that we’re not going to provide the services. We’re going to provide services only through employment.”Still, Ivanka Trump has managed to expand this conservative debate around child-centered policies. Paid leave “has not been completely within the conversation in a lot of Republican circles for quite a while,” said Angela Rachidi, a research fellow at the American Enterprise Institute. “Even today, had it not been for proposals around paid leave from the Trump campaign … I’m not sure necessarily there would be the same conversation that we’re having right now.”For all the debate over the Child Tax Credit and paid family leave, governments that have pursued such approaches before have had mixed success trying to boost fertility with cash. These policies may make it slightly easier to be a parent and help women stay in the labor force, but it’s not clear that they’ll lead to more babies. In reality, attitudes about family size are “80 percent culture, 90 percent culture,” said Last. “Why do we spend all of our time talking about the policy end of it? You’re sitting at a control panel, and there are buttons for policy. There are no buttons for culture.”Recent television shows and movies like The Handmaid’s Tale and Children of Men show how powerfully massive birth-rate drops grip the popular imagination In both cases, biologically and environmentally driven infertility lead to political chaos. But in America’s case, the causes of infertility seem less biological than are so many possible explanations for why Americans are having fewer kids, said Last. For one, declining religiosity might mean fewer people feel drawn to have a bigger family. “My Mormon friends are all having kids. They’re doing fine,” he said. “It’s my NPR-listening liberal friends who don’t have kids.” Millennials hit hard by the recession might also lack the cash to support a child. People may have trouble finding long-term partners, or they may just think having a kid wouldn’t fit with their personal lives. This is what makes pro-natalism so tough It’s hard to think of a comprehensive solution to such a multi-faceted, diffuse that’s left for earnest demographers to do, perhaps, is evangelize. “I tell people, You know, get married, make sure you love your partner,’” said Last. “And then go have too much to drink and make bad decisions.’”
negara yang menerapkan kebijakan pro natalis